Minggu, 21 Oktober 2007

Menjadi Titik yang Setia

Keindahan dan kepuasan sejati ada pada kesetiaan, sehingga orang mau membayar dan memberikan apapun untuk membeli kesetiaan. Ia (setia) mudah untuk diucapkan, tetapi sulit untuk disaksikan apalagi untuk dilakukan. Itu karena kesetiaan hanya milik orang yang memiliki prinsip, tidak egois, dst.
Namun begitu setia bukan berarti orang menjadi bodoh 99% atau pasrah 200%. Karena setia bukanlah doktrin yang tidak boleh dibantah, tetapi sejatinya setia adalah mengedepankan komunikasi dan demokrasi serta menjadikan keterbukaan sebagai jalan untuk saling memahami dan menerima.

Contoh betapa menjijikannya orang atau pihak yang tidak setia dapat dilihat pada mereka yang bernafsu menjadi pejabat akan mengumbar janji yang sangat melenakan hati, tapi begitu ia naik tahta, ia tidak lagi setia dengan janjinya. Atau janji setia sebagian para suami pada istrinya ketika menginjak malam pertama, namun selingkuh dan poligami menjadi irama hidupnya.

Lihatlah bintang, bulan dan matahari, ia menjadi titik yang setia pada apa yang telah menjadi tugas dan keberadaanya. Pernahkan ketiganya bermunculan pada waktu yang sama dan saling menabrakan diri??
Dan bila kita mau membuang sedikit saja rasa gengsi untuk meyakini adanya Sang Pencipta, kita akan menemukan, matahari, bulan dan bintang setia dengan tugasnya karena sesungguhnya mereka ada karena dicipta dan bersedia setia dengan perintah penciptanya.
Begitupun seandainya ada hamparan manusia yang melakukan perbuatan salah dan dosa, maka Sang Pencipta tidak akan langsung membuat dunia menjadi kiamat, karena Dia tetap akan setia dengan janjinya mengenai batas kiamat bagi dunia.

Entah sudah berapa banyak salah dan dosa yang kita perbuat, tetapi Sang Pencipta tidak serta merta mengklaim kita sesat dan pendosa, dan Ia tidak juga memberikan kita azab atas karya salah dan dosa kita. Bahkan tidak sedikit kita mendapatkan pelajaran dari peristiwa yang menjadi guratan makna. Itu membuktikan bahwa Ia bukan saja mencipta, tapi bertanggung jawab mendidik kita dengan peristiwa agar tetap setia menjadi manusia yang setia pada kebaikan dan setia menentang keburukan.

Sebagai imbalan atas kebesaran Sang Pencipta, kita harus tetap setia menjadikan Ia sebagai Sang Pencipta dan tetap memposisikan manusia sebagai partner dalam mencapai tujuan bersama, baik laki-laki maupun perempuan, di mana keduanya (laki-laki dan perempuan) tidak boleh ada yang berperan menjadi tuhan dalam kehidupan sesama manusia, karena itu (menjadi tuhan) akan melahirkan subordinasi dan penindasan serta ketidakadilan pada mereka yang minoritas.

Jadi, tetaplah setia sebagai manusia yang setia pada Tuhan, dan setia sesama manusia dengan tidak menghianati manusia lainnya melalui ragam penindasan.

Jakarta, 22/10/07

Tidak ada komentar: